Aku tahu
kamu sering memanggilku dalam kekhidmatan puja-puji sakral dan curahan rasa syahdu
penuh harap yang membanjiri khayalan dan mimpimu. Tapi itu tidak punya makna
apa-apa bagiku karena yang kamu panggil adalah simbol tanpa melibatkanku
sedikitpun walau sekedar citra selintas
jati diriku sehingga identitas yang kamu lekatkan di simbol bukan aku, tetapi
pihak lain. Maka datanglah para bajingan menyaru seakan-akan aku, memagutmu
sampai kamu menggelepar dalam kenikmatan suatu mimpi yang terus berulang dan
kemudian jadi usang. Aku tidak akan berbuat apa-apa, karena itu pilihanmu dan
kesenanganmu seperti kebanyakan mereka
pemuja kepalsuan. Tetapi aku tetap setia menunggu dalam setiap keheningan malam
sampai kamu mau dan sanggup menggapai aku dengan cinta bening dari dalam hatimu
seandainya kamu memang menginginkan aku.
Apabila tiba
saatnya keinginanmu sampai padaku, maka aku dekap kamu tanpa akhir dalam
keindahan yang tak pernah usang saat mana setiap detak jantung dan helaan napas
adalah kenikmatan tiada tara untuk direguk, membuatmu enggan melewatkannya
meskipun hanya setitik kecil. Siapapun dan apapun tidak bisa mengusikmu dan
mengusikku, tidak juga gabungan semua lasykar dari seantero kerajaan langit dan
bumi, karena aku bukan sekedar nama, aku adalah wujud yang datang dari
keabadian dan membawa kamu pada keabadian. (JH).
Prosa mini
untuk pemuja simbol.
Jatiasih, 1 Mei 2013